Dulu, kau bilang bahwa tak
mungkin kita berhubungan. Lalu kukatakan bahwa tak ada yang tak mungkin. Dan
kata-kata itu bagaikan mantra untukku—yang membuatku tetap berjuang hingga
tanpa terasa kita bisa bersama sampai lebih dari 5 tahun. Aku punya teori
tentang cinta: Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan.
“Kapan
kita menikah?” Tanyaku di suatu malam.
“Tak
mungkin kita menikah,” Ujarmu.
Lagi-lagi
kata itu. Ah aku benci kata itu.
“Tak
ada yang tak mungkin, ingat? Memangnya Kau tak cinta lagi padaku?”
“Masalahnya
bukan itu, tapi…”
“Apa?”
“Ini
soal restu Ibuku.” Ujarmu dengan nada menyerah. “Aku tak mau membantah ibuku.
Kau kan tahu bahwa ia menderita penyakit jantung sejak ayahku meninggal tahun
lalu.”
Ya.
Tentu saja aku tahu. Semua orang juga tahu hal itu. Ayahmu meninggal di tengah
jalan dengan kondisi mengenaskan. Kepalanya putus, tengkoraknya pecah dan otaknya hancur berserakan di atas aspal.
Istri mana yang bisa tahan mengetahui hal itu. Bahkan ia masih beruntung hanya sakit
jantung setelah kejadian itu.
Aku
mencoba menerima alasanmu, walaupun ada rasa perih di hatiku. Aku pasti bisa,
walaupun ini sangat menyakitkan untukku. Hingga suatu hari dikabarkan ibumu
meninggal di tengah jalan dengan kondisi mengenaskan. Kepalanya putus,
tengkoraknya pecah dan otaknya hancur berserakan di atas aspal. Anak mana yang
bisa tahan mengetahui hal itu. Kurasa kau sangat terpukul, sampai kau bahkan
tak mau lagi menemuiku selama berminggu-minggu. Aku tetap sabar menunggu.
Akhirnya
malam itu kau datang. Dengan wajah yang terlihat sangat tenang. Aku senang. Aku
yakin kau membawa berita bagus bagiku. Kuyakin kita akan segera bersatu karena
di antara kita tak ada lagi ibumu.
“Jadi
kapan kita menikah?” Tanyaku dengan senyum sumringah.
“Tak
mungkin kita menikah,” Ujarmu.
Lagi-lagi
kata itu. Ah betapa aku membenci kata itu.
“Tak
ada yang tak mungkin, ingat? Memangnya Kau tak cinta lagi padaku?”
“Masalahnya
bukan itu, tapi…”
“Oh,
apa lagi sekarang?”
“Ini
soal orang tuaku.” Ujarmu dengan ringan.
“Orang
tuamu?”
“Kau
ingat kan, dulu ayahku melarang hubungan kita? Kau ingat kan, ibuku juga tak
merestui hubungan kita? Akhirnya aku tahu apa alasan mereka,”
“Apa?”
“Mereka
sudah menjodohkanku.” Ujarmu dengan senyum sumringah. “Mereka sudah
merencanakan perjodohan ini sejak umurku baru 15 tahun. Aku tak bisa
menolaknya. Ini keinginan terbesar orang tuaku.”
Aku
mencoba menerima alasanmu, tapi ternyata aku tak bisa. Ini terlalu menyakitkan
untukku. Lebih menyakitkan dari alasan-alasanmu sebelumnya.
Lalu semuanya
terjadi begitu cepat. Aku tak ingat apa-apa lagi kecuali saat-saat di mana aku
memegang kedua pipimu, mencium keningmu dengan berurai air mata, dan membanting
kepala putusmu yang telah pecah tengkoraknya hingga otakmu hancur berserakan di
atas aspal. Dan aku tertawa bahagia setelahnya.
Cintaku
yang dulu juga bilang bahwa tak mungkin kami berhubungan. Lalu kukatakan bahwa
tak ada yang tak mungkin. Dan kata-kata itu bagaikan mantra—yang membuatku
tetap berjuang hingga berhasil kabur dari penjara sekaligus rumah sakit jiwa karena
menurut mereka aku adalah psikopat berbahaya yang sudah tidak waras.
Teoriku tentang cinta
telah terbukti kebenarannya. Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan…